CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 27 Agustus 2013

Jendela Rara

            Rara, anak perempuan berusia Sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabe, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara  masih memandangi ganbar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis.
“Mak, kapan kita punya rumah ?”
Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap diasmpaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia 45-an yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, soal apa yang bisa dimakan anak-anak esok? Maka pertanyaan apa pun dari anak-anak, lebih sering hanya lewat telinga, tanpa menetap lama di hati.
“Mak, kapan kita punya rumah ?”
Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggungnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami, dan lima anaknya. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekedar lalu-lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana. Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh, langsung dari beton tebal yang menyangga di jalan tol di atas mereka. Kamar mandi ? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas.
“Ini rumah kita, Ra!”
Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa garang matahari, bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan rumah yang diimpikannya :

Sebuah rumah imut
Dengan dinding kehijauan berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari
Dan halaman mungil berumpun melati
           
Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya.
            “Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!”
            “Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa dengan pikiran mengambang. Ke mana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya. Ke rumah Mas Dadang, tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari?
            Anak Emak lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin sekolahnya, apa daya ia tak sanggup lagi menyekolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah.
            Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kaebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah.
            “Jendelanya bisa masuk matahari, gak, Mak?”
            Rara menggoyang bahu emaknya. Tapi kali ini emaknya menghela napas berat, dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari.
            Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya mengamen dan bekerja di perempatan, tak dipakainya sesen pun untuk belie s mambo di warung, kuaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.
            Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Sepeerti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.
            “Assalamualaikum! Emak?”
            Rara menghambur kea rah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.
            “Mak, sini.”
            Rara menyeret tangan Emak, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah.
            “Apaan sih, Ra?”
            Rara memandang Emak dengan mata bercahaya . Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval.
            “Mak, tebak!”
            “Apaan ?”
            Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas.
            Rara menyerahakan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah karena keringat.
            “Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih geseng, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita!” papar gadis kecil itu ceriwis.
            Jendela ?
            Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya ke raut wajah si bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah emaknya. Bocah perempuan itu malah terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup-letup.
            “Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara maunya kusennya warna cokelat tua, Mak. Mala mini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke took material. Kita bisa beli kayu, kusen yang udah jadi, terus kaca, terus…”
            Emak tak begitu mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya diguyuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretaris nya, dan berbicara serius padanya.
            “Gara-gara Rara, semua ank-anak disini pada minta dibuatin jendela sama orang tuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Ibu tahu sendiri situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan percuma, tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol diatas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bias mengizinkan!”
            Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar.

            Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak menatapi gumpalan uang kertas dan receh di tangan nya.

0 komentar:

Posting Komentar