Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama
Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati
penduduk padaPerang
Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus1945 dan diduduki
Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian
dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami
perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah
tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur
pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara.
Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno.
Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.[16]
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota,
penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja
kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun
penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas
menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan.
Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai
kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta
melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional.
Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan
sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan
Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat
oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT
Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba
ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an
dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang.
Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan
gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan
masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, sepertibanjir, kemacetan, serta
kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang
memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para
mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut
kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi
kepresidenan. (LihatKerusuhan
Mei 1998).
0 komentar:
Posting Komentar