Keberagaman budaya dan bahasa yang ada di Jawa Barat
sempat diuji ketika Kongres Jawa Barat yang ketiga diadakan. Tepatnya di Kota
Bandung tanggal 28 Februari 1948, pada saat tersebut salah satu perwakilan
masyarakat Jawa Barat dari Suku Sunda yaitu Bapak Soeria Kartalegawa yang juga
ketua Parta Rakyat Pasundan (PRP) mengusulkan agar pembicaraan dalam rapat
badan perwakilan tersebut (Kongres Jawa Barat) dibolehkan menggunakan Bahasa Sunda,
namun kemudian usulan tersebut segera disanggah oleh perwakilan masyarakt Jawa
Barat lainnya dari Suku Cirebon yaitu bapak Soekardi, bapak Soekardi menyatakan
“
|
“Djika dibolehkan berbitjara dalam bahasa Soenda,
orang-orang yang ingin memakai bahasa daerah lainnya poen haroes diizinkan,
oempamanja bahasa daerah Tjirebon”.
|
”
|
Kemudian pada periode sebelum tahun 1970-an Pemerintah
memasukan Pelajaran Bahasa Jawa
dialek Solo / Yogya (Baku) untuk wilayah Cirebon dan Indramayu
yang masih termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat dimana mayoritas penduduknya
menggunakanBahasa Sunda,
namun ternyata guru pengajar dan muridnya tidak memahami kosakata yang
digunakan tersebut hingga akhirnya memutuskan untuk tidak mengajarkan Bahasa Jawa dialek Solo /
Yogya (Baku) di wilayah Cirebon-Indramayu. Kekosongan pelajaran
muatan lokal bahasa daerah ini kemudian berusaha diisi oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dengan memasukan pelajaran bahasa daerah Bahasa Sunda, oleh
karenanya pada periode tahun 1970-an bahasa daerah yang diajarkan di wilayah
Cirebon - Indramayu adalah Bahasa Sunda karena
dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih
dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul
gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di
wilayahnya, yaitu Bahasa Jawa
dialek Cirebon[8], kemudian pada periode tahun
selanjutnya pengajaran Bahasa Cirebon ini mulai untuk diajarkan di wilayah "Pakaleran Majalengka" yaitu
wilayah utara kabupaten Majalengka yang mayoritas penduduknya merupakan
keturunan Prajurit Majapahit, pada wilayah Pakaleran ini kosakata Bahasa Jawa diaek
Banyumasan, Bahasa Jawa dialek Bumiayuserta Bahasa Jawa dialek Tegal lebih
terasa, contohnya pada penyebutan kata "saya" yang menggunakan
sebutan "Nyong" dan bukannya "Ingsun" ataupun
"Reang" seperti yang dituturkan di wilayah Cirebon - Indramayu. Namun
pengajaran bahasa daerah pada periode tersebut belum memiliki payung hukum,
karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelumnya mengindikasikan bahwa Jawa
Barat merupakan wilayah tanah Sunda, dengan mayoritas suku sunda yang bertutur
bahasa sunda, baru setelah tahun 2003 dengan diterbitkannya Peraturan Daerah
(Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 tentang Perlindugan dan Pengembangan Budaya
dan Bahasa di Jawa Barat yang mengakui adanya tiga suku asli jawa barat yaitu
Sunda, Melayu-Betawi dan Cirebon, pengajaran bahasa daerah non-sunda memiliki
perlindungan payung hukumnya, adapun pergerakan untuk menjadikan bahasa cirebon
sebagai sebuah bahasa yang mandiri yang terlepas dari Bahasa Jawa maupun Sunda
dilakukan dengan sebuah Metode yang disebut dengan "Metode Guiter"
namun pada perhitunganya metode tersebut baru mencatat sekitar 75% perbedaan
antara Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa dialek Solo /
Yogya, sementara untuk diakui sebagai sebuah bahasa mandiri
diperlukan sedikitnya 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya[9]. namun secara nyata, penerbitan
buku penunjang pelajaran bahasa daerah Cirebon dan Indramayu pada periode tahun
2000-an sudah dilakukan dengan tidak menyebutkan Cirebon sebagai sebuah dialek
Bahasa Jawa dan hanya disebutkan "Bahasa Cirebon" dan bukannya
"Bahasa Jawa dialek Cirebon" seperti yang dilakukan pada penerbitan
"Kamus Bahasa Cirebon" oleh Almarhum Bapak TD Sudjana dan kawan-kawan
tahun 2001 dan "Wykarana - Tata Bahasa Cirebon" oleh Bapak Salana
tahun 2002.
0 komentar:
Posting Komentar